Kertas yang kita gunakan ketika masih sekolah, kuliah, dan bekerja, ternyata dulunya tidak berbentuk seperti sekarang. Zaman dulu, orang-orang menggunakan media lain yang berfungsi seperti kertas hingga pada akhirnya terciptalah kertas yang sesungguhnya.
1. Bambu (Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sunda Kuna)
Jenis bambu yang dijadikan bahan naskah tergantung pada bentuk yang ingin dihasilkan. Di Sumatera Utara, bambu yang dianggap baik adalah bambu berkulit halus yang disebut bulu suraton yang usianya sudah tua, sedangkan di Palembang, bambu yang dianggap paling baik kualitasnya adalah bambu betung (Dendrocalamus Asper).
Naskah-naskah dari bambu ini disebut gelumpai di Sumatera Selatan. Bambu yang terlalu muda terlalu rawan terhadap serangan serangga. Aksara maupun ornamen pada media bambu ditulis menggunakan sebuah pisau raut yang runcing. Tulisannya mengikuti panjang ruas bambu, bagian buku bambu tidak ditulisi. Bagian buku bambu biasanya diratakan atau dihiasi dengan ornamen.
Bekas goresan pisau kemudian dihitamkan dengan menggunakan kemiri yang dibakar hingga mengeluarkan minyak. Campuran abu dan minyak hitam yang pekat itu akan menempel pada bekas goresan pisau dan menghasilkan warna kontras pada permukaan bambu yang cokelat kekuningan.
Bentuk bulat bambu mengakibatkan suilitnya penulisan. Untuk menghindari agar bambu tidak bergeser, maka salah satu ujungnya disandarkan pada bagian perut penulis dan ujung lainnya dipegang dengan tangan kiri. Itulah sebabnya penulisan naskah bambu berjalan vertikal dari bawah ke atas, bukan dari kiri ke kanan. Cara penulisan yang sama juga ditemukan di daerah Filipina bila menulis bambu.
2. Kulit Alim (Batak)
Kulit kayu alim (Aquilaria) adalah bahan utama yang digunakan untuk membuat laklas, alas tulis dalam naskah Batak. Kulit kayu alim yang dipakai bukanlah kulit luar yang sudah kering dan mati, melainkan lapisan dalam yang tidak keras. Proses produksinya memerlukan keahlian khusus yang tidak dimiliki sembarangan orang.
Pertama-tama kayu dipanen dan dikeringkan, kemudian dipilih ukurannya yang cocok untuk keperluan menulis. Kemudian setelah kulit kayu dikelupas, kulit luar yang kering dipisah dari kulit dalamnya. Kupasan kulit kayu tersebut bisa mencapai 15 meter dan lebar 60 cm. Kulit kayu alim tidak ditempa seperti daluwang. Jika ukuran panjang lembaran tidak sesuai yang diinginkan, maka lembaran ditempelkan. Kemudian, kedua ujungnya dipotong lurus dan permukaannya diratakan menggunakan pisau. Berikutnya dihaluskan menggunakan dedaunan. Daun yang digunakan biasanya jenis Ficus Ampelas burm. Tahap yang paling sulit dalam memproses kulit kayu alim adalah saat melipat, sebagaimana yang tampak pada naskah-naskah.
Ciri lipatan kertas serupa akordeon inilah yang paling mencolok dalam naskah Batak. Lipatannya lalu ditokok-tokok menggunakan martil kayu agar terlihat rapi, kemudian kedua belah sisi dipotong menggunakan pisau sehingga lurus. Laklak yang sudah dilipat ini diolesi tepung beras dan air kulit kayu supaya menjadi licin dan mengikat tinta, sehingga mudah ditulisi.
Setelah kering, pustaha (buku atau surat dalam budaya Batak) digarisi sesusai dengan jumlah barus yang ingin ditulis. Garis yang sangat tipis dan terlihat samar ini dibuat untuk memudahkan dan merapikan. Untuk membuat garis ini digunakan penggaris (balobas) yang terbuat dari sebatang bambu, sedangkan untuk menggarisinya digunakan pisau bambu (panggorit).
Laklak ditulisi dari bawah ke atas pada naskah yang diletakkan secara horizontal. Alat tulis ini kemudian ditulisi menggunakan lidi enau yang disebut tarugi.
3. Daun Lontar (Jawa Kuna, Bali, Sunda Kuna, Lombok, Bugis)
Daun lontar merupakan sejenis daun palem (Borassus flabellifer). Daun ini diolah sedemikian rupa menjadi alas tulis yang berkualitas. Kata lontar sebetulnya bentukan metatesis dari kata Jawa Kuna ron tal, yang berarti daun tal, yakni daun pohon tal.
Sebelum diproduksi sebagai alas tulis naskah, daun lontar dipilih dan dipetik. Bagi orang Bali, bulan terbaik untuk pemetikan ini adalah bulan Kartika (September/Oktober), Kasanga/Kadasa (Maret/April) sebelum naik bulan purnama. Di luar bulan-bulan tersebut kualitas lontar dianggap kurang baik untuk dijadikan bahan tulis. Pohon yang baik terutama yang tumbuh di daerah kering dan di wilayah pesisiran. Hasil akhir produksi daun lontar yang ingin dihasilkan adalah daun lontar yang kering dan tahan terhadap serangga.
Daun yang telah menjadi alat tulis ini ditulisi oleh alat tulis khusus, sejenis pisau yang disebut pengrupak di Bali atau peso pangot di Sunda. Selain digunakan secara luas di Bali dan Jawa, naskah lontar juga pernah dipakai di Sulawesi Selatan yang menyebabkan kemungkinan hubungan antara lontara dan lontar, meskipun saat ini lontara berarti ‘naskah’ dalam Bahasa Bugis. Dalam Bahasa Bugis, lontar disebut ‘ta’ dan dalam Bahasa Makassar disebut ‘tala’.
Jika di Jawa bentuk naskah lontar berupa lembaran-lembaran terpisah yang disatukan dengan tali pengikat dan dijilid dengan kayu pengapit, di Sulawesi Selatan bentuk naskah lontar betul-betul unik. Ukuran lontarnya bisa mencapai puluhan meter dan lebarnya hanya sekitar 1,5 cm. Panjangnya yang luar biasa ini dijahit dan digulung dalam sebuah gulungan, sehingga bentuk naskahnya mirip dengan gulungan kaset.
Naskah-naskah berbentuk unik khasl Sulawesi Selatan ini jumlahnya sangat sedikit. Untuk menghasilkan lontar sebagai alat tulis, pertama-tama daun yang belum dipotong dikeringkan di bawah sinar matahari yang menyebabkan warnanya berubah kuning pucat. Kemudian daun dicuci pada air mengalir atau dalam bak air yang selalu diganti airnya setiap hari selama tiga sampai empat hari. Setelah itu daun dipotong sesuai ukuran yang diharapkan dan ijuk pada daun dilepaskan.
4. Gebang (Jawa Kuna, Sunda Kuna)
Sebelumnya, bahan ini diidentifikasi sebagai nipah, tapi bukti bukti terbaru menunjukkan bahwa jenis daun yang digunakan sebetulnya adalah gebang. Gebang berasal dari pepohonan jenis palem. Tinggi pohon yang sudah dewasa berkisar antara 15 hingga 20 meter, daunnya berkumpul pada ujung batang pohon dengan bentuk menyerupai kipas atau seperti jari tangan yang terbuka.
Diamater daun mencapai 2 hingga 3,5 meter dan berkumpul di ujung batang pohon. Daun gebang cenderung lebih tipis dan berwarna lebih cerah dibandingkan daun lontar. Daun gebang ditulisi menggunakan tinta hitam menggunakan sejenis alat tulis. Daun gebang dikenal dengan berbagai sebutan di daerah-daerah tertentu. Masyarakat Dayak mengenalnya sebagai gebang, masyarakat Timur menyebutnya gawang, di Timor disebut pocok, di Betawi pucuk, di Batak dan Sasak disebut ibus, sementara di Minahasa disebut silar.
Naskah yang ditulis pada media daun gebang tidaklah banyak hanya sekitar 30-an naskah. Naskah tertua yang tertulis pada daun gerbang adalah naskah koleksi Perpusnas bernomor L641, yang berisi kisah Arjunawiwaha.
5. Daluwang (Jawa, Melayu, Sunda)
Daluwang merupakan kertas hasil produksi yang berbahan dasar kulit kayu pohon Broussonetia papyrifera Vent. Pohon ini dinamakan pohon saeh dalam Bahasa Sunda. Bahan ini disebut dluwang atau dlancang dalam Bahasa Jawa, disebut daluwang dalam Bahasa Sunda atau ulantaga dalam Bahasa Bali.
Kata daluwang sendiri sudah disebut sejak abad ke-9 dalam Kakawin Ramayana dan pada Kakawin Sumanasantaka (abad ke-12) dan merujuk pada jenis pakaian dari kulit kayu yang digunakan kaum pertapa. Naskah dluwang tertua saat ini diketahui adalah naskah yang disebut ‘Kitab Undang-undang Tanjung Tanah’ yang berasal dari sekitar abad ke-14.
Naskah-naskah yang berbahan daluwang terutama berasal dari Jawa, Sunda, dan Madura, selain terdapat contoh kecil dari Sulawesi Selatan dan Sumatera. Produsen yang masih aktif membuat daluwang dapat ditemukan di Tunggilis Garut dan Tegalsari Ponorogo.
6. Kertas Eropa (Melayu, Sunda, Sulawesi, Kalimantan, Papua Barat)
Kelebihan kertas Eropa adalah kandungan informasi yang terdapat pada kertas itu sendiri, seperti ukuran kertas, cap kertas, jumlah garis halus, dapat menentukan dari negara mana kertas itu berasal, siapa produsennya, bahkan tahun dibuatnya kertas itu. Dalam konteks Indonesia, suplai kertas yang paling dominan tentu aja berasal dari Belanda, disusul oleh Inggris.
Itali juga memegang peran penting, karena negara ini banyak menyuplai kertas untuk negara-negara Islam, seperti Mesir sebelum masuk ke Indonesia melalui jalur perdagangan. Meski demikian, negara lain di Eropa seperti Perancis, Spanyol, dan Portugis juga tercatat menyuplai kertas di Indonesia.
Sebagaimana tertuang dalam laporan-laporan permintaan kertas dari perusahaan Belanda, kertas Eropa sudah mulai diimpor secara massal sejak abad ke-17. Di Aceh misalnya sejak tahun 1600 kertas diperjualbelikan, sementara di Goa, pada tahun 1668, Portugis membawa kertas dalam kargo kapalnya.
7. Kertas Cina (Melayu, Jawa, Sunda, Sulawesi, Kalimantan, Papua Barat)
Pada masa-masa kuno, tulisan, dan prasasti yang umumnya terbuat dari tablet bambu atau di atas potongan sutra yang disebut chih. Tapi karena harga sutra menjadi mahal dan bambu yang berat, membuat kedua bahan tersebut menjadi tidak praktis untuk digunakan.
Kemudian seorang berkebangsaan Tionghoa, yaitu Tsai Lun memprakarsai ide membuat kertas. Kertas yang biasa disebut kertas Cina ini dibuat menggunakan bahan dari kulit kayu murbei, sisa-sisa rami, kain bekas, dan jaring ikan. Proses dimulai dengan merendam bagian dalam kulit kayu tersebut di air dan dipukul-pukul, sehingga seratnya lepas.
Bersama dengan kulit, direndam juga bahan rami, kain bekas, dan jala ikan. Setelah menjadi bubur, bahan ini dibakar hingga tipis dan dijemur. Lalu jadilah kertas, namun mutunya masih belum sebagus sekarang. Berkat penemuannya, Tsai Lun mendapat gelar kebangsawanan dan sejarah tentang penemuannya tercatat di sejarah resmi Dinasti Han.
Pada awal abad ketiga, proses pembuatan kertas pertama ini menyebar ke wilayah Korea hingga Jepang. Kertas jenis ini pun merambah Arab pada masa Dinasti Tang dan mulai menyentuh Eropa pada abad ke-12. Kemudian pada abad ke-16, kertas mencapai wilayah Amerika dan bertahap menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Selain berbagi soal sejarah perkembangan kertas di Indonesia, Pegipegi juga akan memudahkan kamu untuk traveling dengan harga terjangkau. Yuk, pesan tiket pesawat, tiket kereta api, dan hotel murah di Pegipegi!
pesan tiket pesawat murah  pesan tiket kereta api murah  cari hotel murah
Agar transaksi kamu lebih murah dan mudah, jangan lupa instal aplikasi Pegipegi lewat Google Play atau App Store, ya!