“Cidro janji tegane kowe ngapusi. Nganti seprene suwene aku ngenteni, nangis batinku nggrantes uripku teles kebes netes eluh cendol dawet”
Penggalan lirik dari tembang Pamer Bojo milik Didi Kempot nggak ada habisnya dibahas. Bahkan, tiap kali Didi Kempot dan timnya manggung, lagu yang satu ini nggak pernah luput dari hasrat para penonton yang seakan tersirap dengan pesannya.
Yap, popularitas dangdut kembali naik ke permukaan. Sosok Didi Kempot dan sobat ambyar-nya dianggap yang bertanggung jawab menyebarkan virus dangdut, nggak cuma di kalangan menengah ke bawah, tetapi juga atas.
Kaum millenial hingga generasi z mulai penasaran, mencoba memasukkan banyak lagu dangdut di dalam playlist Spotify, Joox maupun Apple Music mereka. Bahkan, nggak sedikit dari mereka yang rela antri demi menonton konser dangdut, seperti yang berkali-kali tampak di konser Didi Kempot belakangan ini.
Dengan lirik yang relatable dan jujur serta lantunan musik yang santai dengan irama yang melambai-lambai, dangdut dikenal sebagai genre musik yang fleksibel dan luwes sejak dulu kala. Luwes dalam artian aliran ini cocok didengarkan oleh siapapun dan mampu dipadukan dengan berbagai genre apapun.
Mau musik metal rock atau bahkan pop klasik pun, dangdut bisa berbaur ciamik tanpa meninggalkan jati dirinya. Meski kerap dianggap sebagai musik yang nggak berkelas, dangdut adalah produk lokal yang sudah jadi jati diri bangsa ini, layaknya country di Amerika Serikat atau J-pop dari Jepang yang punya ciri khas tersendiri.
Untuk merunut jejak awal hadirnya dangdut di tengah masyarakat Indonesia memang cukup sulit. Karena, genre yang satu ini merupakan perpaduan berbagai kebudayaan yang masuk ke Indonesia di era 30-an, termasuk keroncong yang jadi pioneer musik rakyat kala itu.
Adalah Orkes Harmonium dan Orkes Gambur yang coba mengusik ketenangan musik klasik dan pentas orkestra Belanda. Keduanya mampu mengawinkan berbagai unsur, seperti irama padang pasir, Hindustan, Melayu, Latin dan Eropa yang kental.
Setelah itu, gebrakan keduanya memancing banyak sekali orkes melayu untuk bermunculan. Mulai dari O.M. Monata, O.M. Sera, O.M. Sagita, O.M. Palapa, O.M. hingga Latansa.
Sebenarnya Orkes Harmonium dan Orkes Gambus bukan yang pertama. Jauh di Sumatera Utara berkembang pesat Melayu Deli yang juga menjadi cikal bakal lahirnya orkes Melayu di kawasan Sumatera di 1940-an.
Meski cukup dianggap sebelah mata oleh kalangan masyarakat kelas atas, terutama bangsa Eropa seperti Belanda dan Inggris kala itu, dangdut terus berevolusi dan semakin luas menyebarkan virusnya. Untuk bertahan pun, dangdut berusaha unuk berbaur dengan jenis musik lainnya. Nggak heran di akhir 70 dan 80-an, dangdut sukses menjalin kekerabatan yang erat dengan musik pop.
Coba saja dengarkan lagu-lagu ala Rinto Harahap yang beken di 1980-an atau bahkan Elvy Sukaesih, Rita Sugiarto hingga Camelia Malik. Dengan lirik yang mendayu-dayu plus perpaduan musik antara pop klasik dan tepukan gendang yang bikin berdendang membuat dangdut pop makin dicintai masyarakat.
Memasuki 90-an, pergerakan dangdut makin masif dengan menggandeng disko dan musik house ke dalamnya. Munculnya alat musik modern seperti DJ mixer, midi controller, hingga synthesizer melahirkan sub genre dangdut baru, dangdut disko. Musisi seperti Neneng Anjarwati, Merry Andani atau bahkan Jeffrey Bule meraup popularitasnya kala itu.
Sejalan dengan itu, dangdut pop kian menunjukkan eksistensinya. Dengan memadukan instrumen yang jaluh lebih modern dan pengenalan chart musik di berbagai radio maupun stasiun televisi, talenta seperti Iis Dahlia, Ikke Nurjanah atau Evie Tamala sulit dibendung kiprahnya.
Jangan dilupakan juga munculnya campursari ala Jawa Tengah lewat Didi Kempot, Cak Diqin, dan Sonny Josz yang mulai gerilya mereka di awal 90-an bersamaan dengan naiknya popularitas dangdut pop. Pergerakan masif ini yang memudahkan jalur karir pendangdut muda masa kini, sebut saja Inul Daratista hingga Via Vallen di belantikan musik Tanah Air.
Panggung Dakwah
Fleksibilitas yang dimiliki oleh dangdut nggak cuma jadi alat penghibur masyarakat, lho. Karena, ada masanya dangdut digunakan sebagai cara berdakwah paling efektif, meski banyak pertentangan yang dihadapi dalam perjalanannya.
Semua berawal dari sosok biduan berbama Rofiqoh Dharto Wahab yang terkenal di era 1960-an. Lewat lantunan lirik khas qasidah dan gambus, Rofiqoh menyulap panggung dangdut menjadi altar dakwah yang menarik perhatian ribuan penikmatnya.
Sejalan dengan perluasan makna dari ulama, siar agama yang makin beragam yang juga memudahkan karir seorang Rhoma Irama dan Soneta Grupnya di awal 70-an. Meski awalnya ia tampil dengan tembang romantis, nyatanya Rhoma Irama kian menasbihkan dirinya sebagai pendakwah lewat lagu-lagu reliji penuh humor, sebut saja Judi, Quran dan Koran atau Yatim Piatu.
Ia memasukkan banyak unsur musik padang pasir ke dalam dendangan dangdut yang ia produksi. Nggak heran, dengan pamornya yang begitu besar, Rhoma Irama masih dan akan terus dianggap sebagai Raja Dangdut Indonesia, layaknya Elvis Presley dengan rock and rollnya.
Dakwah lewat dangdut pun nggak pernah mati, kok. Di era persaingan yang makin ketat seperti sekarang, musisi dangdut yang coba berdakwah seperti Qasima yang coba mengikuti jejak sang kakak, Nasida Ria. Grup qasidah asal Magelang ini sempat viral banget di 2019 lewat Gass Poll, Nakal hingga Kiamat Kecil. Jadwal manggungnya pun kiat padat, lho!
Apapun bentuknya dan cara penyampaiannya, musik dangdut nggak akan pernah mati. Terlebih, regenerasi pendengar yang sangat baik membuat dangdut punya tempat tersendiri di ranah musik Indonesia, maupun internasional.
Pengin menjelajah Indonesia sambil mendengar dangdut ini? Sekalian liburan. Kamu bisa pesan tiket bus, tiket kereta, atau tiket pesawat, plus hotel murah lewat Pegipegi. Selamat liburan!
PESAN TIKET BUS MURAHÂ PESAN TIKET PESAWAT MURAHÂ PESAN TIKET KERETA API MURAHÂ CARI HOTEL MURAH
Agar transaksi kamu lebih murah dan mudah, jangan lupa instal aplikasi Pegipegi lewat Google Play atau App Store, ya!